Pages

Subscribe:

11 November 2011

Ayah, Anak, dan Keledai

Ini kisah tentang bapak, anak lelaki dan keledainya yang merepotkan.

Bagaimana tidak, tiap hari mereka harus menyediakan rumput, dan, yang paling tidak enak, harus selalu membersihkan kotoran keledai di kandang.

“Mending piara ayam, bisa bertelur!” kata si anak pada suatu hari. “Piara keledai hanya bikin repot!”

Si Bapak menghela nafas. Maklum akan kekesalan anaknya.

“Mending kalau keledai itu bisa membersihkan kotorannya sendiri!” si anak meneruskan kesalnya.

“Tak ada keledai sepandai itu, nak!” kata bapak coba menenangkan hati anaknya. “dia tidak sekolah, kan?”

“Laiyalah! Mana ada sekolah keledai?” sambut anaknya, makin kesal menanggapi gurauan si ayah. “Kenapa tidak kita jual saja keledai ini, pak?”

Kita jual? Si Bapak merenung.

“Nak, keledai itu kenangan dari kakekmu! Kau cucu lelaki kebanggan yang lahir di hari yang sama dengan keledai itu. Maka kakekmu menamaimu Dongki, yang artinya keledai mungil! Nama bapak sendiri kan Dongkus, alias keledai besar!”

Si Bapak senyum bernostalgia. Sebaliknya si anak, Dongki, makin kesal dengan keledai yang ternyata lahir di hari yang sama. Bukan suatu kehormatan besar lahir di hari yang sama dengan keledai! Bernama keledai mungil pula! Huh, apa kita bermarga Keledai?!

Dongki minta si bapak untuk menyingkirkan binatang itu.

Dengan perasaan apa boleh buat, pak Dongkus setuju.

Matahari pagi mulai menghangati bumi, ketika tiga mahluk Tuhan beda posisi ini jalan beriringan menuju pasar di kota.

“Hei, kalian bertiga mau kemana?” seorang tetangga menyapa mereka. Pak Dongkus menjawab singkat bahwa mereka akan ke pasar di kota.

“Kalian punya keledai kenapa tidak dinaiki? Dimana otak kalian?” kata tetangga usil itu.

Panas kuping pak Dongkus mendengar teguran tetangga itu. Setelah berunding dengan Dongki, ia naik ke punggung keledai, sementara si anak berjalan mengiringi. Namun belum 50 meter berjalan, gangguan kedua muncul.

“Bapak macam apa itu? Dirinya enak-enak naik keledai, anaknya disuruh jalan kaki! Sayang anak, dong!”

Suara tetangga kedua ini makin memerahkan telinga. Cepat-cepat pak Dongkus merosot dari punggung keledai. Ia tak mau dituduh tidak sayang anak.

Kini giliran ‘si Keledai Mungil’ Dongki naik dipunggung keledai asli. Sementara ‘si Keledai Besar’ Dongkus jalan kaki mengiringi. “Sekarang tak akan ada yang mencela lagi,” katanya dalam hati. “Bukankah aku seorang ayah yang sayang anak?”

Lagi-lagi pak Dongkus salah duga.

“Wah! Ini anak tidak hormat pada orangtua!” Seorang tukang rumput yang berpapasan jalan mencela. “Anak enak-enak naik keledai, ayahnya yang tua itu dibiarkan jalan kaki! Kamu juga! Kenapa orangtua tidak bisa didik anak?”

Anak dan bapak sama-sama kena semprot!

Anak-bapak duduk di bawah pohon, tak jauh dari hutan. Stres. Sama-sama stress. Apa pun yang mereka lakukan salah semua. Keduanya sepakat bahwa keledai warisan yang berhari ulangtahun sama dengan Dongki itu benar-benar merepotkan adanya. Pasar kota masih jauh, bagaimana cara menuju kesana yang aman dari cela orang?

Sementara itu, diam-diam keledai berjalan sendiri menuju hutan, tempat yang selama ini ia dambakan.

Tiba-tiba Dongki bersorak lihat jauh disana keledai menghilang ke hutan.

“Ayah, kita bebas sekarang!” teriaknya sambil menunjuk hutan. Si ayah setuju. “Ya, kita bebas dari tuan keledai yang merepotkan itu!”

Mereka pun pulang dengan riang, tidak takut lagi ada yang mencela bagaimana mereka bersikap terhadap keledainya!
_________________________________

Pesan moral:
Kita tak akan pernah bisa memuaskan semua orang. Maka, jadilah dirimu sendiri dan lakukan apa yang kau anggap benar.

1 komentar:

  1. apa yang paling berharga adalah saling menghargai hak dan kewajiban kita masing-masing .
    Salam karahayon .

    BalasHapus