Pages

Subscribe:

20 September 2009

Mengasah Kapak

Suatu ketika, hiduplah seorang penebang kayu yang masih muda.

Dia tinggal bersama seorang istri yang baik.

Setiap hari, penebang ini pergi ke hutan, dan menebang setiap pohon yang layak untuk dipotong, lalu menjualnya ke kota.

Pada suatu pagi, si Penebang berkata pada istrinya, "Bu, aku akan menebang 10 pohon hari ini. Aku merasa, aku masih kuat untuk itu semua."

Sang istri merasa senang. Ia pun lalu melepas kepergian suaminya ke hutan. Betul saja, di senja hari, Penebang itu kembali dengan membawa uang hasil penjualan 10 pohon.

Hal itu terus berlaku dari hari ke hari. Pagi-pagi sekali, Penebang muda itu selalu bergegas pergi untuk menebang pohon. Namun, lama kemudian, hasil yang didapat dirasakan makin menurun.

Minggu berikutnya, si penebang hanya mampu menghasilkan 8 pohon. Lalu 6 pohon di minggu berikutnya.

Sampai akhirnya si penebang muda ini cuma mampu menebang 3 pohon.

"Ah, mengapa ini semua terjadi. Bukankan aku masih muda dan kuat?" keluh si Penebang, "Untuk orang seusiaku, pasti bisa lebih banyak pohon yang dapat ditebang."

"Hmm... Atau apakah aku sudah mulai tua?" keluhnya lagi.

Istrinya yang semula diam, mulai angkat bicara,

"Suamiku, engkau memang masih muda, dan ya, aku yakin, engkau bisa menebang lebih banyak lagi. Namun, engkau juga harus ingat, engkau harus mengasah kapak-kapakmu sebelum pergi bekerja. Sia-sialah semua tenagamu, kalau kau hanya punya kapak yang tumpul. Suamiku, kita tak dapat selalu berharap hasil tebangan yang banyak, kalau kita selalu lupa untuk mengasah kapak yang kita miliki."

***

Sebenarnya, kita adalah si penebang muda tadi. Terlalu sering kita berharap, untuk mendapatkan hasil yang banyak, tanpa berusaha melihat ke dalam diri kita.

Terlalu sering kita bermohon kepada Allah, untuk mendapatkan pahala dan imbalan yang sesuai, namun dengan kualitas ibadah yang minim sekali.

Kerapkali, cuma sedikit waktu yang kita berikan untuk mengasah keimanan kita dengan harapan pahala yang berlimpah.

Kita sering lupa untuk mengasah semuanya. Padahal di sekeliling kita, ada banyak sekali hal yang bisa dijadikan pengasah batin dan iman kita. Kebajikan-kebajikan sosial, adalah salah satunya.

____________________________________

Tulisan ini aku persembahkan untuk saudara-saudaraku yang telah mengasah Kapaknya di bulan suci Ramadhan.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430H

Mohon Maaf Lahir dan Batin

16 September 2009

Mangkok Bolong

Seorang raja bersama pengiringnya keluar dari istananya untuk menikmati udara pagi.

Di keramaian, ia berpapasan dengan seorang pengemis. Sang raja menyapa pengemis ini, "Apa yang engkau inginkan dariku?"

Si pengemis itu tersenyum dan berkata, "Tuanku bertanya, seakan-akan tuanku dapat memenuhi permintaan hamba."

Sang raja terkejut, ia merasa tertantang, "Tentu saja aku dapat memenuhi permintaanmu. Apa yang engkau minta, katakanlah!"

Maka menjawablah sang pengemis, "Berpikirlah dua kali, wahai tuanku, sebelum tuanku menjanjikan apa-apa." Rupanya sang pengemis bukanlah sembarang pengemis. Namun raja tidak merasakan hal itu. Timbul rasa angkuh dan tak senang pada diri raja, karena mendapat nasihat dari seorang pengemis.

"Sudah kukatakan, aku dapat memenuhi permintaanmu. Apa pun juga! Aku adalah raja yang paling berkuasa dan kaya-raya."

Dengan penuh kepolosan dan kesederhanaan si pengemis itu mengangsurkan mangkuk penadah sedekah, "Tuanku dapat mengisi penuh mangkuk ini dengan apa yang tuanku inginkan."

Bukan main! Raja menjadi geram mendengar 'tantangan' pengemis ini.

Segera ia memerintahkan bendahara kerajaan yang ikut dengannya untuk mengisi penuh mangkuk pengemis kurang ajar ini dengan emas. Kemudian bendahara menuangkan emas dari pundi-pundi besar yang di bawanya ke dalam mangkuk sedekah sang pengemis.

Anehnya, emas dalam pundi-pundi besar itu tidak dapat mengisi penuh mangkuk sedekah.

Tak mau kehilangan muka di hadapan rakyatnya, sang raja terus memerintahkan bendahara mengisi mangkuk itu. Tetapi mangkuk itu tetap kosong. Bahkan seluruh perbendaharaan kerajaan: emas, intan berlian, ratna mutumanikam telah habis dilahap mangkuk sedekah itu.

Mangkuk itu seolah tanpa dasar, berlubang.

Dengan perasaan tak menentu, sang raja jatuh bersimpuh di kaki si pengemis, ternyata dia bukan pengemis biasa, terbata-bata ia bertanya, "Sebelum berlalu dari tempat ini, dapatkah tuan menjelaskan terbuat dari apakah mangkuk sedekah ini?"

Pengemis itu menjawab sambil tersenyum,

"Mangkuk itu terbuat dari keinginan manusia yang tanpa batas. Itulah yang mendorong manusia senantiasa bergelut dalam hidupnya.

Ada kegembiraan, gairah memuncak di hati, pengalaman yang mengasyikkan kala engkau menginginkan sesuatu.

Ketika akhirnya engkau telah mendapatkan keinginan itu, semua yang telah kau dapatkan itu, seolah tidak ada lagi artinya bagimu.

Semuanya hilang ibarat emas intan berlian yang masuk dalam mangkuk yang tanpa dasar itu.

Kegembiraan, gairah, dan pengalaman yang mengasyikkan itu hanya tatkala dalam proses untuk mendapatkan keinginan.

Begitu saja seterusnya, selalu kemudian datang keinginan baru.

Orang tidak pernah merasa puas. Ia selalu merasa kekurangan. Anak cucumu kelak mengatakan: kekuasaan cenderung untuk berlaku tamak."


Raja itu bertanya lagi, "Adakah cara untuk dapat menutup alas mangkuk itu?"

"Tentu ada, yaitu rasa syukur kepada Tuhan. Jika engkau pandai bersyukur, Tuhan akan menambah nikmat padamu," ucap sang pengemis itu, sambil berjalan kemudian menghilang.

04 September 2009

Benar dan yang Paling Benar

Kumbakarna adalah seorang patriot.

Seorang keturunan Bangsa Raksasa yang beda dari kebanyakan bangsa Raksasa.

Wujud fisiknya seperti umumnya bangsa Raksasa, tinggi besar, lebih dari tiga kali tinggi bangsa manusia.

Tapi hatinya,...... pemahamannya akan kehidupan begitu luhur.

Dialah salah satu ksatria bangsa Raksasa yang senantiasa belajar dan berusaha untuk memahami sejati hidupnya.

Bahkan sebagian orang menganggap dia sebagai seorang yang menjalani hidup sebagai seorang resi, walaupun hidup di dalam megahnya kehidupan istana Alengkadiraja.

Dan perang harus pecah.

Sebuah perlawanan bangsa Manusia atas sikap semena-mena Raja Rahwana sang pimpinan Alengka.

Sebuah pilihan sulit bagi Kumbakarna. Dia yang begitu menjunjung tinggi sikap ksatria, dan sangat tidak suka dengan ke-angkara murkaan, sudah sejak awal dengan tegas tidak menyetujui sikap Rahwana, sang kakak, yang demikian jahat.

Dan ketika perang harus berkobar. Kumbakarna tetap harus memilih.

Alengkadiraja adalah negeri tanah tumpah darahnya. Negeri yang memberinya kehidupan, penghidupan dan pembelajaran, sejak dia dilahirkan sampai pada pemahamannya sekarang ini.

Dan Kumbakarna memilih untuk berjuang, terlibat perang, membela negrinya, walaupun dia tahu bahwa itu semua akibat sikap Rahwana yang salah.

Adalah seorang ksatria bernama Arya Wibisana. Adik kandung dari Kumbakarna.

Tapi aneh memang, entah kenapa Wibisana berwujud sebagai bangsa Manusia, dengan paras muka tampan, tidak seperti ketiga saudara lainnya yang memiliki postur tubuh raksasa.

Wibisana juga seorang patriot.

Mengetahui bahwa sang kakak, Rahwana, tidak bisa lagi diingatkan akan kelalaian sikapnya, Wibisana memilih pergi dari istana Alengkadiraja, dan bergabung dengan bangsa Manusia menuntut haknya dengan melawan Rahwana.

Suatu ketika Kumbakarna dan Wibisana harus berhadapan.

Dua orang saudara. Dua orang patriot.

Dua orang dengan watak ksatria harus saling menghunus keris dan saling menumpahkan darah.

Kumbakarna mungkin memang salah, tapi bila kita coba melihat dan memahami jalan hidupnya.

Kita akan melihat bahwa apa yang dilakukannya bisa dibenarkan.

Wibisana mungkin juga bisa disebut sebagai seorang pengkhianat bangsa.

Tapi ketika kita mengenalnya lebih dekat, suatu ketika kita akan melihat begitu luhur budinya.

Lalu, ketika mereka saling membunuh, siapakah yang paling benar?

Tidak ada diantara mereka yang benar.

Seperti juga kita manusia, tidak ada diantara kita yang benar-benar benar.

Karena kebenaran hanyalah milik-Nya.

Kita manusia yang harus selalu bersyukur diberi-Nya kesempatan untuk sesekali meminjam sebuah kebenaran.

Kumbakarna, adalah seorang yang proaktif. Karena selalu melakukan dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang dipahaminya.

Demikian juga Wibisana.

Mungkin juga, ..demikian adanya kita. Didalam kehidupan yang sepertinya semakin rumit ini, sikap proaktif bisa saja akan dinilai salah.

Tidak selalu setiap keputusan yang kita ambil akan dapat dimengerti semua orang.

Setiap keputusan seseorang akan selalu dilihat benar oleh sebagian orang, pun akan dilihat salah sebagian orang yang lain.

Dan seperti seorang ksatria Kumbakarna dan Wibisana, tak ada salahnya bila kita menganggap bahwa pendirian kita adalah sesuatu yang benar.

Tapi akan sungguh naif, ketika masih juga dijumpai, orang yang menganggap pendiriannya adalah yang paling benar...

Ingin tahu lebih dalam tentang wayang yang notabene Kesenian asli Indonesia?? Kunjungi "Wayang Ku"

01 September 2009

Lalat

Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta diatas sebuah tong sampah didepan sebuah rumah.

Suatu ketika anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu.

Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lezat. "Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar" katanya.

Setelah kenyang si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat.

Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca.

Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik demikian terus dan terus berulang-ulang.

Hari makin petang si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan dan esok paginya nampak lalat itu terkulai lemas terkapar di lantai.

Tak jauh dari tempat itu nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati.

Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua

"Ada apa dengan lalat ini Pak?, mengapa dia sekarat?".

"Oh.. itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini, sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita"

Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi, "Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? kenapa tidak berhasil?".

Masih sambil berjalan dan memanggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab, "Lalat itu tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama".

Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan perkataannya namun kali ini dengan mimik & nada lebih serius,

"Ingat anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama namun mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini".

"Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda"